KUMPULAN CERITA PENDEK NYANYIAN SUNYI ALEEA
NYANYIAN SUNYI ALEEA
Namanya Aleea. Gadis bermata hazel. Rambut blondenya panjang
sepinggang. Sesekali ia mengurai rambutnya. Berlarian seorang diri di
perkebunan. Tertawa-tawa lalu merebahkan tubuhnya di atas jerami-jerami kering.
“Aleea!!
Aleea!! Aleeaaaaaa!!” suara nyaring Bibi Nanny memanggilnya setiap kali
matahari mulai terbenam.
Aleea akan segera membalikkan langkah lalu berlari menuju
rumah. Memasuki pintu dapur yang selalu berdecit saat dibuka.
“Dari tadi
dipanggil. Kau tuli rupanya,” gerutu Bibi Nanny. Hampir setiap hari.
Aleea hanya tertunduk. Meresapi kalimat-kalimat yang menusuk
jantungnya.
“Angkat
piring-piring ini. Susun serapi mungkin. Tuan Arthur akan turun untuk makan
malam!” perintahnya.”Jangan coba-coba mencicipi sedikitpun!! Kecuali kau sudah
lupa sakitnya dirajam,” Bibi Nanny membelalakkan matanya. Mata yang sorotnya
membuat Aleea bermimpi buruk semalaman.
Aleea menata
piring di atas meja makan. Menyiapkan segelas anggur kesukaan Tuan Arthur. Tak lupa
sepiring apel merah yang telah diiris.
Duk!! Duk!! Duk!!
Terdengar langkah berat Tuan Arthur menuruni tangga.Tubuh
besarnya berjalan perlahan. Nampak sebuah tongkat di tangan kanannya. Ia tak
banyak bicara.
“Makan malam
yang enak. Sama seperti biasanya,” ucap lelaki tua itu dengan suara berat dan
wajah datar.
Disapunya ujung bibir
dengan serbet lalu pergi meninggalkan meja makan tanpa berkata-kata lagi. Ia
pergi meninggalkan Bibi Nanny dan Aleea yang berdiri mematung di samping meja.
Rumah itu sunyi
seperti tanpa penghuni. Malam semakin dingin. Aleea meringkuk di pembaringannya,
memandangi bintang-bintang di kejauhan. Bibir mungilnya bersenandung. Senandung
yang tiap malam ia dendangkan. Sendirian.
“twinkle
twinkle little star, how I wonder what you are, up above the world so high,
like a diamond in the sky …”
Aleea tersenyum menatap bintang-bintang.
***
Keesokan paginya Bibi Nanny mengajak Aleea ke kebun belakang.
Memetik berry-berry merah.
“Kita akan membuat pie berry hari ini,” jelas Bibi Nanny
tanpa Aleea bertanya. “Pilih berry merah tua. Rasanya lebih manis karena sudah
benar-benar masak,” ucapnya lagi.
Aleea mengangguk.
Jemari keriput Bibi Nanny dengan cekatan menyibak daun-daun
yang menggerombol kemudian memetik berry-berry merah tua. Aleea juga sibuk
memilih-milih.
“Selamat pagi, Nyonya Nanny!” suara seseorang mengagetkan
keduanya.
Paman Abey. Lelaki dengan kumis tebal itu berjalan menggiring
beberapa ekor domba.
“Sejak kapan kau di situ, Si Abey Tua??” Bibi Nanny tampak
kesal.
“Hehehe, jangan marah. Maaf kalau aku mengagetkan kalian
berdua. Hallo, Aleea. Kau kelihatan ceria hari ini. Apa Bibi Nanny-mu tidak
galak lagi?”
Paman Abey terkekeh. Memperlihatkan gigi-giginya yang
kecoklatan karena terlalu banyak menghisap cerutu.
Aleea tersenyum. Melambaikan tangan kanannya. Ia selalu
senang jika bertemu Paman Abey. Kisah-kisah yang ia ceritakan selalu membuat
Aleea bahagia.
“Teruslah memetik!!” perintah Bibi Nanny tak suka.
Aleea terdiam seketika. Mengatup mulutnya rapat-rapat. Bibi
Nanny tetap melanjutkan pekerjaannya.
“Bagaimana keadaan Tuan Arthur, Nyonya?”
“Masih seperti dulu,” jawab Bibi Nanny tanpa menoleh.
“Meratapi nasibnya.”
“Aku bisa membayangkan perasaannya. Kehilangan satu-satunya
orang yang dicintai. Pasti sangat menyedihkan. Hhh …,” Paman Abey menghela
napas.
“Cobalah sesekali kau mengunjunginya,” ucap Bibi Nanny.
“Aku khawatir jika kedatanganku mengingatkannya pada Elly.”
“Kau coba saja,” jawab Bibi Nanny.”Gunakan banyolanmu itu
untuk menghiburnya. Bukannya menggangguku sepagi ini.”
“Hahaha … kau tak banyak berubah, Nyonya Nanny. Cobalah untuk
menarik sedikit bibirmu itu ke atas. Seperti ini,” Paman Abey menarik kedua
bibirnya dengan ujung jari.
Aleea terkekeh melihatnya. Sungguh Paman Abey yang lucu. Bibi
Nanny yang digoda semakin cemberut. Ia melempari Paman Abey dengan berry-berry
di tangannya.
“Pergilah! Urus saja ternak-ternakmu itu. Jangan sampai aku
marah lalu menjadikannya makan malam.”
Paman Abey semakin terbahak. Tak ingin membuat perkara iapun
segera berlalu.
“Daaah, Aleea!”
Aleea membalas lambaian tangan Paman Abey sambil menahan
tawa.
“Hhh … pria tua tak punya pekerjaan. Pagi-pagi sudah membuat
emosi saja,” gerutu Bibi Nanny.
***
Elly adalah isteri Tuan Arthur. Meninggal dua tahun lalu.
Sejak itu Tuan Arthur berubah pendiam. Menghabiskan waktunya dengan membaca
buku di depan perapian. Sesekali mengintip matahari dan bulan dari balik
jendela kaca atau mengusap-usap potret kenangan yang terpampang di dinding.
Aleea tak pernah lagi berani mendekati. Pun menatap wajahnya.
Kehangatan Tuan Arthur tak ada lagi. Berganti wajah muram tanpa cahaya. Membuat
Aleea turut kehilangan. Hanya Bibi Nanny yang tidak berubah. Perempuan paruh
baya yang mengasuhnya sejak bayi itu lebih mirip monster dibandingkan dengan seorang
bibi. Ia tak mengerti mengapa benih
benci tumbuh di hati Bibi Nanny. Seandainya bisa, Aleea ingin melarikan diri
darinya sejak lama.
***
“ Tuan ingin coklat panas?” tanya Bibi Nanny pada Tuan Arthur
yang duduk menghadap ke perapian.
Lelaki tua itu membetulkan letak kacamata. Pandangannya masih
tertuju pada sebuah buku tebal yang sedari tadi dibacanya.
“Hmm …, boleh,” jawabnya singkat tanpa menoleh.
“Sebentar,Tuan.”
“Aleea, buatkan secangkir coklat panas untuk Tuan Arthur,”
bisik Bibi Nanny pada Aleea yang sedang asyik menggambar. “Cepaaat!”
Aleea bergegas. Secangkir coklat panas dengan aroma menggoda
selera ia letakkan perlahan di sebuah meja di samping Tuan Arthur. Sang majikan
melirik.
“Aleea!” ucapnya pelan saat Aleea hendak membalikkan badan.
Suaranya serak.
Aleea menjadi gugup. Panggilan itu terakhir kali ia dengar
dua tahun lalu. Saat Nyonya Elly masih hidup. Tuan Arthur melepas kacamatanya,
menoleh ke arah Aleea. Gadis itu nampak kikuk. Kepalanya menunduk.
“Apa kau masih sering menggambar?”
Aleea mengangguk cepat.
“Kau lihat gambar di buku ini?” ucapnya sambil menunjukkan
sketsa seorang gadis kecil bergigi ompong di dalam buku tebal itu.
“Ini gambar Elly saat masih kecil. Hahaha …,” Tuan Arthur
tertawa renyah.
Aleea mengulum senyumnya. Ia senang Tuan Arthur kembali
tertawa.
“Ini buku harian Elly. Kau lihat, banyak catatan
impian-impiannya di sini. Termasuk memiliki rumah di Loch Earn seperti sekarang
ini.”
Tuan Arthur membuka beberapa lembar buku harian itu dan
menunjukkannya pada Aleea.Gadis itu hanya mengangguk-angguk. Sesekali
menyungging senyum. Meresapi nada-nada rindu pada suara lelaki itu. Aleea
merasakan hal yang sama. Nyonya Elly memberikannya kasih sayang yang tak pernah
ia dapatkan seumur hidupnya. Hingga ketika ia pergi Aleeapun terpuruk dalam
sunyi yang tak bisa ia definisikan.
Tuan Arthur menutup buku. Menyeruput coklat yang asapnya
masih mengepul.
“Terima Kasih, Aleea. Coklat ini enak,” ucapnya.
Aleea kembali tersenyum.
“Pergilah tidur, Anak Baik,” ucapnya lagi.
Aleea membalikkan tubuhnya. Kakinya berjinjit-jinjit, senyumnya
lebar. Selebar senyuman ketika Nyonya Elly acapkali membelai rambutnya.
Malam itu Aleea kembali bersenandung.Menatap bintang-bintang
yang semakin redup. Senandung yang masih sama seperti malam-malam sebelumnya.
Senandung yang suaranya tercekat di kerongkongan namun kumandangnya sampai ke
bintang-bintang.
“twinkle twinkle little star, how I wonder what you are …
“
Kali ini ia tidur dengan senyuman yang lebih merekah.
Muara Teweh, 9 Nopember 2020
Komentar
Posting Komentar